Pondok Pesantren Hidayatullah Ternate menerima dan menyalurkan zakat, infaq, sedekah, fidyah, dan wakaf tunai Anda kepada yang berhak. Informasi lebih lanjut hubungi WA Center +62 812-4852-7607

KETIKA BUKU TAK LAGI MENJADI PRIORITAS


Bangsa Besar Lahir dari Kebiasaan Membaca

Kita kerap terpukau melihat kemajuan bangsa lain. Namun jarang kita bertanya: apa rahasia yang membuat mereka melaju sedemikian pesat? Sesungguhnya jawabannya tidak rumit ya — kemauan untuk membaca. Tanpa tradisi literasi yang kokoh, sulit bagi sebuah bangsa untuk berdiri sebagai bangsa yang maju dan berdaya saing.

Abdul Mu’ti, seorang tokoh pendidikan dan Mandikdasmen, telah berulang kali mengingatkan bahwa krisis literasi adalah ancaman serius. Bila masyarakat tidak dibiasakan membaca dan menulis, maka generasi muda kita akan tumbuh dengan kemampuan menulis yang lemah, serta pola pikir yang tidak terasah. Minimnya bacaan akan menumpulkan daya kritis mereka, dan seseorang yang tidak terbiasa membaca tidak mungkin menjadi pemikir yang tajam.

Dampaknya tidak hanya dirasakan saat mereka masih di bangku sekolah. Ketika dewasa, masalah ini akan semakin kompleks. Orang-orang yang tidak terbiasa membaca akan mudah terhipnotis oleh hal instan, gampang diprovokasi, dan tidak memiliki ketangguhan mental untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.

Akar Masalah Bangsa Kita

Pada dasarnya, enggannya membaca adalah sumber dari banyak persoalan bangsa. Semua berawal dari bagaimana kita memandang ilmu pengetahuan. Ironisnya, masyarakat kita rela membelanjakan uang untuk kebutuhan konsumtif apa pun, tetapi ketika berhadapan dengan buku yang harganya murah sekalipun, selalu ada alasan untuk tidak membeli. Cara pandang seperti ini harus dibalik.

Kita perlu menempatkan investasi untuk pikiran sebagai sesuatu yang jauh lebih bernilai dibandingkan kesenangan jangka pendek. Membaca bukan hanya untuk menambah wawasan, tetapi juga untuk memahami dinamika kehidupan berbangsa.

Tidak akan ada kedaulatan rakyat bila rakyat sendiri tidak terdidik dan tidak kritis.

Membaca Sebagai Kontrol terhadap Wakil Rakyat

Pertanyaan klasik seperti “Mengapa koruptor mendapat keringanan hukuman dan bisa kembali menjabat?” sesungguhnya menunjukkan rendahnya tingkat literasi kita. Ketika masyarakat tidak membaca, maka mereka tidak mengetahui persoalan yang terjadi dan tidak memiliki daya untuk mengkritik.

Padahal semestinya rakyat mampu mengawasi dan menilai kinerja para wakilnya. Ketika rakyat cerdas, para politisi pun akan berhati-hati dalam bersikap, meskipun mencoba melakukan sesuatu secara diam-diam.

Salah satu contoh aktual adalah gugatan uji materiil terhadap UU MD3 oleh sekelompok mahasiswa. Mereka menuntut agar rakyat sebagai pemilih diberikan peluang untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR yang tidak melaksanakan amanah. Selama ini rakyat hanya berperan ketika pemilihan; setelah itu, mereka tidak memiliki mekanisme untuk menegur atau mengganti wakilnya.

Gagasan kritis semacam ini hanya muncul dari pikiran yang terbiasa membaca, mengurai persoalan, dan menganalisis keadaan.

Bagaimana Memulainya?

Kita harus berhenti berlindung di balik alasan “tidak ada waktu” atau “tidak punya biaya”. Membaca bukan tentang menghabiskan puluhan buku dalam waktu singkat, melainkan tentang kebiasaan kecil yang dilakukan terus menerus.

Cobalah untuk:

  • Menyisihkan 10 menit setiap hari untuk membaca.

  • Menukar waktu scrolling media sosial dengan membaca satu bab buku.

  • Menjadikan pembelian buku sebagai prioritas, terutama untuk anak-anak.

  • Mengisi waktu luang dengan podcast atau tayangan edukatif.

Sebagai contoh pribadi, saya membiasakan diri membaca lima jurnal setiap pagi melalui Google Scholar, dan minimal satu buku setiap hari meski tidak harus selesai dari awal sampai akhir. Kebiasaan ini tidak sulit dilakukan—yang penting adalah niat, komitmen, dan evaluasi berkelanjutan.

Kesimpulan

Membaca bukan hobi semata; membaca adalah alat perubahan. Ia membentuk generasi yang berpikir kritis, peka terhadap keadaan, dan tidak mau menerima keadaan apa adanya.

Karena itu, kesimpulannya jelas:
Bangsa yang besar adalah bangsa yang terus membaca.

Mari mulai dari diri sendiri, dari rumah kita, karena masa depan Indonesia dibangun dari kebiasaan membaca hari ini. /*Redaktur