Pondok Pesantren Hidayatullah Ternate menerima dan menyalurkan zakat, infaq, sedekah, fidyah, dan wakaf tunai Anda kepada yang berhak. Informasi lebih lanjut hubungi WA Center +62 812-4852-7607

Amanah bukan Hadiah tapi Ujian


Saya pernah menonton sebuah film berlatar kerajaan di Afrika pada tahun 1621. Ketika sang raja tewas dalam pembunuhan berencana, anak sulungnya berambisi menggantikan posisi ayahnya di singgasana. Namun satu hal menjadi penghalang: keberadaan anak lelaki dari adiknya sendiri, pewaris sah yang seharusnya menjadi penerus kerajaan. 

Dalam nafsu kekuasaan, ia tega membunuh keponakannya demi meraih tahta. Ia pun naik menjadi raja, memegang kekuasaan tertinggi yang selama ini ia dambakan. Tapi waktu berjalan, dan singgasana yang dulu ia anggap lambang kehormatan justru berubah menjadi beban. Keputusan-keputusannya membawa kesengsaraan bagi rakyat. Pada akhirnya, ia memilih mengakhiri hidupnya sendiri. 

Dari kisah itu saya belajar bahwa amanah bukanlah ruang untuk memuaskan ambisi, melainkan ladang ujian bagi kesetiaan manusia kepada nilai dan nuraninya. Karena itu, urusan banyak orang tidak boleh diserahkan kepada orang yang haus kekuasaan, melainkan kepada sosok yang amanah dan berintegritas. 

Amanah Jangan Diburu

Seringkali manusia tergesa mengejar amanah, seolah itu jalan menuju kehormatan. Kita lupa, amanah bukan hadiah, tapi ujian. Ia tidak selalu datang bersama kemudahan; sering justru dibalut tanggung jawab yang menguras hati. 

Mereka yang benar-benar memahami makna amanah tidak akan tamak terhadapnya. Sebaliknya, hati yang buta menjadikan amanah sebagai sarana mencari pengakuan dan derajat palsu. 

Menjadi pemimpin, guru, orang tua, atau sekadar pengingat bagi sesama — semuanya bentuk amanah. Setiap posisi membawa tanggung jawab unik. Kadang terlihat kecil di mata manusia, tapi di hadapan Allah nilainya besar. 

Ketika seseorang terlalu bernafsu mengejar amanah, biasanya yang ia cari bukan lagi keberkahan, tapi penghormatan. Padahal semakin tinggi amanah yang dipegang, semakin berat pula hisabnya kelak. 

Dalam tradisi Hidayatullah, para senior sering berpesan, “Jangan cari-cari amanah. Tapi kalau datang amanah, jangan pernah untuk lari.” Pesan sederhana tapi dalam maknanya. Sebab sejatinya bukan kita yang memilih amanah, melainkan amanahlah yang memilih siapa yang pantas memikulnya.

Dan ketika ia sudah melekat di pundak, kita tak punya pilihan selain menjaganya dengan jujur dan sebaik mungkin.

Jalankan Amanah Sebaik Mungkin

Setiap amanah menuntut keikhlasan, bukan kesempurnaan. Manusia tidak akan luput dari salah, namun kejujuran dalam menjalankan tugas menjaga makna di balik setiap langkah. 

Ada kalanya amanah membuat kita lelah dan hampir menyerah. Tapi justru di titik itulah Allah mengajarkan makna keteguhan dan sabar. 

Menjalankan amanah dengan baik tidak selalu berarti berhasil di mata manusia. Ia berarti tetap jujur, terus berusaha, dan tidak mengkhianati niat awal: berbuat karena Allah. 

Setiap kali kita menjaga amanah, sekecil apa pun itu, sejatinya kita sedang menjaga kehormatan diri. Sebab amanah adalah cermin akhlak, dan akhlak adalah wajah sejati seorang mukmin. 

Pada akhirnya, amanah memang tidak pernah ringan. Namun di balik beratnya, ada keberkahan yang tak tergantikan oleh apa pun. Ia mungkin membuat punggung menunduk karena tanggung jawab, tetapi hati justru tumbuh kuat dan lembut sekaligus. 

Bismillah, lakukan yang terbaik. Sebab janji Allah jelas: *“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Imam Al-Ghazali pernah menulis, bahwa hal paling berat bagi manusia adalah amanah. Ia bukan sekadar tanggung jawab, tapi perjanjian antara manusia dan Allah. Dan di sanalah, letak kehormatan sejati seorang insan. *[Redaktur]