Pada tanggal 26 September 2005, ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki ditanah rantau Melayu tepatnya di kota Batam, di sebuah pesantren yang gak begitu ramai, dengan jalanan berlumpur kami tinggal di rumah papan yang cukup sederhana.
Tempat inilah suami saya mendapat
amanah mengajar di Sekolah Dasar (SD). Batam merupakan kota industry yang
begitu prospektif. Banyak pegawai yang diambil dari berbagai daerah Jawa dan
banyak juga penduduk Batam yang berlomba-lomba memilih sebagai karyawan sebuah
perusahaan dibanding dengan pekerjaan lainnya, karena kala itu secara ekonomi
cukup membuat kehidupan sejahtera.
Hampir dikatakan susah mencari
Orang yang berminat untuk mengabdikan dirinya di dunia Pendidikan sebab secara
ekonomi dinilai kurang untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup, dalam hati saya
sepertinya Batam ialah kota yang sangat cocok untuk mewujudkan impian saya
menjadi seorang pengusaha yang diimpikan sejak dibangku kuliah pada Fakultas
Ekonomi jurusan Perbankan Syariah.
Melihat peluang bekerja di
perusahaan, rasanya ingin juga berkarir disana supaya dapat mengumpulkan modal
dengan cepat untuk berbisnis, sebab disini sangat sedikit dijumpai penjual
busana muslim ataupun barang-barang kebutuhan rumah tangga lainnya.
Keinginan bekerja di perusahaan
tersebut begitu menggebu-gebu, sambil ngobrol santai, saya ungkapkan keinginan
ini kepada suami tercinta, lalu beliau menanggapinya dengan santai.
Bagaimanakah dengan lingkungannya disana nanti. Tentu tidak islami kan, Tanya
suami. “Ya, berarti tidak diizinkan, kata saya dalam hatidengan sedikit kecewa
sambil memahami maksud dari perkataan tersebut.
“Boleh, asal jadi Guru saja,”
kata suami saya. Astagfirullah, saya menghela nafas dan mencoba
melupakan semua impian yang pernah ada. Sebagai istri yang sholihah maka tiada
jawaban lain selain “Sami’na wa atho’na” (Dengar dan taat)
Mulailah saya mendapat amanah
baru sebagai guru di Sebuah Madrasah dan berbekal pengalaman mengajar anak
jalanan di Surabaya, tetapi tetap saja rasanya jantung saya mau copot, betapa
kagetnya saya melihat anak-anak murid SD di Batam yang perilakunya menurut saya
luarbiasa.
Dari sikap dan cara bicaranya
sungguh tak pernah saya bayangkan, nada bicaranya cukup tinggi seperti tidak
ada sopan-santunya terhadap guru. Hari demi hari menjadi suatu pemikiran yang
luar biasa, bagaimana caranya saya harus bisa mendidik mereka.
Mengajarkan etika dan Adab
terhadap seorang murid, berusaha sedekat mungkin dengan mereka, bahkan hampir
setiap sore sepulang mereka sekolah saya dan suami melakukan kegiatan home
visit ke rumah – rumah mereka, alhamdulillah usaha ini tidak sia-sia, dengan
izin Allah Saya bisa lebih dekat dengan mereka dan sedikit demi sedikit bisa
menanamkan akhlaq yang baik kepada mereka.
Tahun kedua di Batam saya
mendapat Amanah menjadi Wali kelas enam. Semula sedikit ada perasaan Bahagia,
sepertinya tidak separah sebelumnya karena anak-anak sudah besar dan sudah
mulai mengerti sopan-santun serta bisa diajak diskusi tentang hal-hal yang baik,
itu yang terlintas dibenak saya, tapi ternyata mereka jauh lebih parah dari
segi akhlaqnya dibanding dengan anak-anak kelas dua yang saya tangani
sebelumnya.
Kelas enam adalah masa-masa
pubertas, yaitu masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa- masa
inilah mereka mulai ingin mencari jati dirinya. Hampir setiap hari mereka
melakukan hal-hal yang sedikit aneh untuk mencari perhatian. Saat Pelajaran berlangsung,
tiba-tiba ada seorang anak yang hobinya menyanyi, dia menyanyi sekeras-kerasnya
tanpa mau ditegur.
Jika kita menegurnya
bertambah-tambah jadi suaranya. Keesokan harinya saat jam Pelajaran berlangsung
mereka yang laki-laki tiba-tiba saja mengeluarkan bola dengan asyiknya mereka
bermain bola di kelas. Saat mereka dinasihati dengan baik- baik, mereka cuek
saja.
Maka dengan tegas saya sampaikan
kepada mereka, “jangan bermain bola di kelas, kalau masih tetap juga ingin
bermain bola, silahkan keluar, dengan Bahasa itu pasti mereka tidak akan berani
bermain bola lagi, bisikku dalam hati, namun ternyata sungguh diluar dugaan.
Tiba-tiba mereka berlari semua
keluar kelas dan dengan asyiknya melanjutkan bermain bola di halaman sekolah. Astagfirullah,
saya menghela nafas panjang. Bingung tidak tau harus gimana lagi, tidak
hanya sampai disitu. Suatu Ketika saat bel masuk kelas setelah berbunyi, saya
dapati mereka asyik bermain bola Kembali didalam kelas.
Dengan tegas saya katakan kepada
mereka, “Tendang yang kencang Bang!” Pyar… Tiba-tiba terdengar suara pecahan
kaca. Saya coba melihat seisi ruangan kelas, ternyata saya melihat sebuah jam
dinding kacanya sudah pecah.
“Astagfirullah, mengapa
kalian tendang bola begitu kencang, hingga memecahkan kaca jam dinding kita,”
tanya saya. Hahaha… alhamdulillah kami berhasil, bukankah tadi Ustadzah yang
suruh,” jawab mereka, dengan santai.
Saya terdiam sejenak, beristigfar
sambil menstabilkan amarah yang sudah menuncak, saya berusaha agar tidak
memarahi mereka, dan saya berusaha menghibur diri. Caranya, berkomunikasi
dengan murid-murid yang Perempuan.
“Ayo sayang tolong bersihkan
pecahan kacanya, ya!” Alhamdulillah mereka bersedia, setelah mereka mulai duduk
diam barulah saya mencoba menanamkan akhlaq kepada mereka dengan sebuah cerita.
Sebagian besar mereka spertinya larut dalam cerita yang saya sampaikan.
Namun masih terlihat beberapa
anak laki-lakiyang dari raut wajahnya tampak tidak tersentuh sama sekali dengan
cerita yang saya sampaikan. Sesampainya di rumah, saya terus berfikir bagaimana
caranya bisa menanamkan akhlaq yang baik kepada mereka.
Saya sebut mereka dalam setiap
munajat kepada Allah. Saya terus bermuhasabah, adakah yang salah dalam diri ini
dalam mendidik mereka atau kurang dekatnya saya dengan Allah, sehingga mendidik
mereka terasa begiti berat.
Hampir tiap malam saya bermuhasabah, saya ingat-ingat Kembali kenangan -kenangan indah semasa di Surabaya, mengapa saya bisa begitu menikmati menjadi seorang pendidik, kata-kata yang keluar dari bibir ini mendapat sambutan yang begitu menyejukkan di tengah-tengah mereka.
Ternyata benar ada sesuatu yang kurang
dalam diri ini sebagai pendidik, yaitu tahapan ketiga dalam sistematika wahyu,
perintah surah Al-Muzzammil ayat 1 – 10 (Sholat lail, membaca Al-Qur’an,
berdzikir, tabattul ilallah, tawakal, sabar dan hijrah).
Terkait hal ini, setelah
melahirkan anak pertama, saya mulai jarang melaksanakan dan bahkan bisa
dikatakan tidak pernah lagi istiqomah melaksanakan perintah yang terkandung di
dalamnnya. Padahal inilah bekal kita sebagai seorang pendiidik / pengasuh
maupun murobbi sebelum tampil mendidik dan menyeru ummat menuju jalan kebaikan. Karena begitu banyak
janji Allah yang terkandung didalamnya.
Setelah tersadar akan kehebatan
isi yang terkandung didalam surah Al-Muzzammil ayat 1-10 ini, mulailah saya
paksakan diri agar bisa terbangun ditengah malam untuk melaksanakannya. Saya
munajatkan kepada Allah, tuhan yang menguasai hati anak-anak kami.
Dengan deraian air mata saya
mengadu kepada Allah agar diberi kemudahan dalam mendidik mereka, seraya
berdo’a : Yaa Allah, mereka adalah generasi-generasi mujahid Islam, penerus
perjuangan kami dimasa yang akan datang.
Jadikanlah mereka
generasi-generasi yang hebat seperti para pendahulu kami Ibnu Sina, Muhammad
bin Musa al-Khawarizmi, dan sultan Muhammad al-Fatih yang dengan iman dan
ilmunya mereka mampu menaklukan dunia. Jadikanlah mereka kelak pemimpin bagi
orang-orang yang bertaqwa. Jadikannlah kami seorang pendidik yang mampu
menghantarkan mereka meraih ridho -Mu. Aamiin”
Alhamdulillah dengan istiqomah
sholat lail terasa betul janji Allah yang terdapat di surah Al-Muzzammil, yaitu
kita akan mendapat Qaulan tsaqila (perkataan yang berat) qaulan sadida
(perkataan yang tegas), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan karima
(perkataan yang mulia), qaulan baligha (perkataan yang sampai dan meninggalkan
bekas) dan qaulan layyina (perkataan yang lemah lembut).
Hari demi hari terasa begitu
indah. Mereka begitu dekat dengan saya.
Proses belajar mengajar berjalan dengan tertib. Sepulang sekolah mereka saya
ajarkan membuat hiasan dari manik- manik, baik yang laki-laki maupun Perempuan,
hal ini membuat saya semakin dekat dengan mereka dan ada perasaan Bahagia
menjadi seorang guru yang sebelumnya cukup membuat saya ingin melarikan diri
dari Amanah ini.
Suatu Ketika ada seorang murid,
kebetulan dia tinggal di pondok. Sebut saja Namanya Abdul. Penyakit lama dia
kambuh. Dia mulai bertingkah lagi, di sekolah ingin mencari perhatian
teman-temannya. Dengan spontan temannya sendiri yang menegur. Ia merasa malu
dan terdiam.
Dalam diamnya dibelakang saya,
Abdul berkata kepada teman-temannya, bilang sama Ustadzah Muyassaroh, saya
enggak takut sama dia. Memang dia siapa?” keesokan harinya qoddarullah, si
Abdul tidak hadir ke sekolah karena ternyata habis sholat shubuh matanya bengkak
dan tidak bisa melihat, dengan menangis bibirnya bergetar dab berkata,
teman-teman tolong sampaikan permohonan maaf saya kepada Ustadzah, maafkan saya
dan doakan saya agar bisa melihat dunia ini Kembali, saya berjanji akan menjadi
anak yang baik.
Mendengar hal itu saya langsung
mengunjungi kamar si Abdul. Saya katakana kepadanya, Abdul tidak ada suatu
kejadian yang dengannya Allah tidak berikan suatu hikmah. Ustadzah sangat
menyanyangimu. Tentu saja Ustadzah mendoakan semoga Abdul bisa sembuh dan bisa
melihat Kembali.
Pesan Ustadzah, jika nanti Allah
karuniakan Abdul sembuh, bersyukurlah dengan memanfaatkan sebaik mungkin seluruh
anggota tubuh kita untuk kebaikan, dengan terdiam Abdul-pun menganggukkan
kepalanya sambil diiringi air mata yang tak berhenti mengalir, Ujian sakit yang
menimpa Abdul ternyata sangat berkesan bagi teman-temannya. Mereka berazam akan
rajin belaajar dan beribadah kepada Allah agar kelak menjadi anak yang sukses
dunia dan akhirat.
Melihat kesungguhan mereka,
rasanya semangat menjadi pendidik semakin berkobar di hati ini. Hampir tiap
malam saya berangkat lagi ke sekolah untuk menulis buku bagaimana caranya
supaya mereka dapat memahami ilmu yang diajarkan di sekolah dengan mudah dan
menyenangkan, terutama pelajatan matematika.
Alhamdullah dengan izin Allah
dalam waktu dua bulan saya berhasil menulis dua buku matematika. Buku yang
pertama, buku menghitung cepat (untuk penanaman konsep dasar matematika). Sementara
yang kedua “Buku I Love Math” yang berisi cara mudah memahami dan
mengingat rumus matematika dengan metode Super Genius Memory (SGM) dan disertai
Latihan.
Proses penulisan buku ini sungguh
meninggalkan sebuah kesan indah yang semakin menambah kesyukuran saya kepada
Allah. Kisahnya saya pernah mendapat serangkaian angin duduk sebanyak dua kali.
Pulang Tengah malam dari sekolah
karena tidak memiliki komputer pribadi, sampai di rumah baru duduk sebentar
langsung badan ini terbaring di tempat tidur dengan merasakan nyeri di dada
yang luar biasa sampai sudah berwasiat pada suami karena terasa mailakat Izroil
sebentar lagi akan bertamu.
Namun setelah kejadian ini dan
ternyata dengan kasih saying Allah saya masih diberi kesempatan untuk
melanjutkan perjalanan hidup, saya semakin bersemangat berkarya Kembali membuat
alat peraga pembelajaran dan materi pembelajaran dengan animasi di power point
agar mereka lebih semangat belajar.
Alhamdulillah, tak hentinya saya
lafadzkan Syukur kepada Allah. Saat pengumuman kelulusan ternyata mereka
berhasil lulus dengan nilai sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan diantara
mereka dengan izin Allah, ada yang berhasil meraih nilai tertinggi se-kecamatan
dengan nilai matematika-nya 100. Ternyata janji Allah itu benar.
Apa yang terdapat di Al-Muzzammil
itu benar-benar terbukti. Allah akan hadirkan seribu inspirasi dalam diri kita
dan Allah akan mengangkat kita ke tempat yang terpuji (Qs. Al-Isra’ ayat 79).
Kehadiran murid-murid ternyata membawa sejuta hikmah dalam hidup saya, yaitu Bersama mereka membuat kami semakin dekat dengan Allah. Semoga Allah menguatkan hati ini agar tetap istiqomah berjuang menuju ridho-Nya. *Dikutip dari Buku Sekolahku Perjuanganku “Al-Muzzammil, Energi dan Inspirasi Tak Bertepi” Kisah Muyassaroh [SDII Luqman al-Hakim Batam Kepulauan Riau]