Pondok Pesantren Hidayatullah Ternate menerima dan menyalurkan zakat, infaq, sedekah, fidyah, dan wakaf tunai Anda kepada yang berhak. Informasi lebih lanjut hubungi WA Center +62 812-4852-7607

Spirit Muharram: Muhasabah Diri dan Hijrah Perubahan


Setelah dibebaskannya kota Makkah (Fathul Makkah), sudah tidak ada lagi hijrah. Namun hijrah dalam makna yang lain masih ada dan harus terus kita lakukan.

Diantara bentuknya dengan muhasabah diri (introspeksi diri), mengevaluasi segala amal perbuatan kita dalam satu tahun yang lalu. Apakah perilaku dan amal kebaikan lebih banyak ataukah sebaliknya? Apakah karya kita tahun lalu lebih banyak atau sebaliknya?  

Kemudian kita ber-hijrah dengan meninggalkan seluruh keburukan bila tahun lalu pernah melakukannya, dan meningkatkan amal sholeh kebaikan di tahun ini.

Namun, sebelumnya terlebih dahulu penting me-review peristiwa hijrah Rasulullah ï·º dan para sahabatnya, sebab ini merupakan peristiwa yang sangat istimewa. 

Istimewa? Ya, karena di bulan Muharram inilah momentum perjuangan dan pengorbanan Rasul ï·º dan para sahabat beliau ï·º menjadi titik puncak dalam menyiarkan Islam dari Makkah ke Yatsrib sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Dan hasilnya kita bisa menikmati jerih payah perjuangan Rasul ï·º dan para sahabatnya hingga detik ini. Bisa dibayangkan, bagaimana bila hidup kita tanpa Islam dan Iman kepada Allah dan Rasul-Nya? 

Maka lihatlah contoh sebagian manusia di Eropa dan lainnya, mereka hidup tanpa arah dan tujuan yang jelas dengan melimpah harta dan kemewahan, akan tetapi hampa, kosong dan gersang jiwanya sehingga perbuatannya tidak beda dengan hewan (binatang).Na'udzubillah!

Sadar dan Evaluasi

Bagi kita seorang Muslim, urgensi kesadaran untuk evaluasi diri di momen tahun baru Muharram adalah tidak seperti evaluasi biasanya. Mestinya kita betul-betul sadar sesadarnya merenung kembali segala bentuk perbuatan kita pada tahun sebelumnya. 

Baik urusan pribadi, keluarga, hubungan interaksi sosial kemasyarakatan, bahkan urusan kelembagaan atau keagamaan/keumatan. 

Dalam urusan pribadi misalnya, berapa kali kita tidak memenuhi hak-hak pribadi atau dengan kata lain mendzolimi diri kita atas perkara-perkara yang sia-sia (melakukan dosa dan maksiat)? 

Tidak semangat dalam belajar untuk meningkatkan potensi diri sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat Tuhan (Allah SWT), dan seterusnya.

Kemudian kewajiban diri kepada Allah, berapa kali kita meninggalkan sholat berjama'ah, baca Qur'an, dzikir, bersedekah, shalat malam, puasa sunnah dan ibadah nawafil lainnya kepada Allah? 

Dalam urusan keluarga misalnya, perlu dievaluasi berapa kali berbuat kebaikan kepada pasangan hidup atau dengan kata yang lain membahagiakan istri (bagi yang sudah menikah), anak-anak, dan orang tua, serta mertua dan kerabat lainnya? Begitu pun sebaliknya kesalahan yang pernah dilakukan kepada meraka.

Urusan sosial kemasyarakatan, sudahkah kita berhubungan baik dengan tetangga sebagai pencerah, asbab hidayah utk ketaatan kepada Allah dan solusi kebutuhan sosial? Pernahkah kita terlibat aktif dalam setiap kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti kerja bakti warga lingkungan setempat, dan menjadi problem solver?

Sementara dalam urusan kelembagaan atau keagamaan/keummatan, apakah ia sebagai ulama, dai, pemimpin, guru, pengasuh atau karyawan dan lain sebagainya. Tentu lebih dahsyat lagi dievaluasi semua agenda tahun lalu, karena lebih besar amanah yang diembannya.

Untuk Ulama dan Dai, apakah ia hadir sebagai pencerah, edukator, problem solver dan penenteram bagi ummat/masyarakat atau sebaliknya? Kemudian untuk Pemimpin baik di level Pemerintahan Kepala Negara, Gubernur, Bupati/Walikota hingga ketua RT. Atau bahkan pemimpin di level lembaga swasta dan keagamaan.

Sudahkan mereka semua melakukan program pelayanan dan kebijakan sesuai dengan aturan agama dan hukum positif kenegaraan? Atau sebaliknya, justru lebih banyak mendzolimi hak-hak rakyat, pegawai atau staf karyawan? 

Demikian juga tugas dan tanggungjawab sebagai guru, pengasuh, pegawai/karyawan dan lain sebagainya. Intinya harus seimbang antara hak dan kewajiban, sehingga amanah yang diemban, betul-betul tertunaikan dengan baik dan penuh rasa tanggungjawab tentu dengan landasan iman.

Langkah Hijrah

Segala bentuk aktivitas yang sudah dilakukan dari diri pribadi dan keluarga, atau sebagai ulama, dai dan umara (pemimpin) hingga guru, pengasuh dan staf karyawan, apabila prosentasi kebaikan dan prestasinya lebih baik (berkualitas) dan banyak (kuantitasnya). 

Maka, bersyukurlah untuk terus ditingkatkan agar perubahan individual dan sosial semakin lebih baik dan berkah, serta memohon kepada Allah agar menjadi investasi pahala kebaikan yang mendatangkan rahmat-Nya. 

Sebaliknya, segala bentuk kegiatan yang apabila terjadi banyak kekurangan, kekeliruan baik dari diri pribadi, keluarga hingga sebagai pemimpin dan karyawan, maka sangat penting untuk ber-muhasabah diri, evaluasi setiap program dan kebijakan yang keliru dan perbanyak istighfar, memohon ampunan kepada Allah agar termaafkan kehilafan. 

Meminjam istilah Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil, demi keberlangsungan kehidupan yang harmonis, indah, dan berkah, kita harus menjatuhkan pilihan sebagai pelaksana hijrah yang bertujuan meninggalkan segala bentuk keburukan, sebab keburukan pasti akan membawa kepada kesengsaraan. Rasul ï·º berpesan:

المُÙ‡َاجِرُ Ù…َÙ†ْ Ù‡َجَرَ Ù…َا Ù†َÙ‡َÙ‰ اللهُ عَÙ†ْÙ‡ُ

“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah atasnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Dan, tak kalah penting adalah komitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahan atau kekeliruan yang terjadi. 

Artinya, terus istiqomah dan konsisten dalam melakukan kebaikan dan perubahan dengan hijrah secara total, baik ubah cara berpikir dan cara kerja kita sehingga lebih berkualitas serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. agar di akhir hidup kita menjadi lebih baik (khusnul khootimah). Wallahu a'lam

Kayu Merah, 09 Agustus 2024